ADVENTURE : Tuntunan Salat dalam Perjalanan
- Akhmad Khalid Aprianza
- 22 Jul 2014
- 10 menit membaca

Dalam bepergian, ada beberapa keringanan (rukhsah) dalam beribadah yang diberikan oleh agama kita untuk meringankan dan memudahkan pelaksanaannya. Salah satu keringanan tersebut adalah pelaksanan ibadah sholat dengan cara qashar (dipendekkan) dan dengan cara jama’ (menggabung dua sholat dalam satau waktu). Dengan demikian pelaksanaan sholat dalam perjalanan, atau disebut "sholatus safar", dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
1. Itmam, atau sempurna yaitu dilakukan seperti biasanya saat dirumah.
2. Qashar, yaitu sholat yang semestinya empat rakaat diringkas atau dipendekkan menjadi dua roka'at.
3. Jama', yaitu mengumpulkan dua sholat, Dhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya', dalam salah satu waktunya.
Kemudian dalam artikel ini akan dijelaskan juga :
- Shalat di atas kendaraan 
- Shalat fardlu lilhurmatil wakti 
- Tayamum 
- Qadla shalat 
- Batas mulai diperbolehkan mengambil keringanan 

- SHOLAT QASHAR 
Pelaksanaan sholat qashar sama seperti sholat biasa, hanya saja, sholat yang semestinya empat roka'at yaitu dhuhur, ashar, dan isya', di ringkas menjadi dua roka'at dengan niat qashar pada waktu takbirotul ihram.
Contoh lafadz niat qashar :
Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini qoshron lillahi ta'ala.
Artinya : saya niat sholat dhuhur dengan diqashar dua roka'at karena Allah.
A.1. SYARAT-SYARAT QASHAR
Orang yang sedang bepergian (musafir), diperbolehkan melakukan sholat dengan qashar, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat, seperti bepergian dengan tujuan mencuri, dan lain-lain.
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak kurang lebih 80,64 km. Muslim sahaat Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. ketika bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, beliau melakukan shalat dua rakaat.
Hadist lain meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:
"Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakkan qashar pada perjalanan kurang dari empat bard, yaitu dari Makkah ke Usfan". (H.r. Dar Quthni dari Ibnu Abbas. Hadist ini juga diriwayatkan sebagai statemen Ibu Abbas).
Para ulama pada zaman dahulu memperkirakan jarak tersebut dengan durasi perjalanan selama dua hari menggunakan kuda atau onta. Dan para ulama sekarang memperkirakan sejauh 80,64 km atau dibulatkan 80 km. perbedaan kurang atau lebih sedikit tidak masalah karena al-Qur'an tidak secara jelas memberikan batasan jarak dan hadist-hadist dan perhitungan jarak mil dan farsakh versi lama masih mengalami perbedaan. Imam Syafii sangat ketat memberlakukan hitungan tersebut, yakni harus melebih minimal 80,6 km tidak boleh kurang.
3. Mengetahui hukum diperbolehkannya qashar.
4. Sholat yang di qashar berupa sholat empat roka'at. Yakni Dhuhur, Ashar dan Isya'
5. Niat qashar pada saat takbirotul ihram.
6. Tidak bermakmum/berjama’ah kepada orang yang tidak sedang melakukan qashar sholat.
7. Tidak berniat mukim untuk jangka waktu lebih dari tiga hari tiga malam di satu tempat.
- JAMA' SHOLAT (MENGGABUNG DUA SHOLAT) 
Menjama’ sholat adalah melakukan sholat Dhuhur dan Ashar dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut, atau melaksanakan sholat Maghrib dan Isya' dalam salah satu waktu kedua sholat tersebut secara berturut-turut.
B.1. HUKUM JAMA'
Banyak yang beranggapan bahwa jama’ merupakan ketentuan yang tidak terkait dengan qashar. Sejatinya kedua cara sholat ini tidak ada kaitannya dan mempunyai ketentuan sendiri-sendiri, hanya saja sering keduanya dilaksanakan secara bersamaan. Jadi melakukan qashar sholat dan sekaligus melakukan jama’. Sholat seperti itu disebut jama’ qashar.
Para ulama melihat bahwa ketentuan jama’ lebih longgar dibandingkan dengan qashar. Qashar boleh dilakukan pada kondisi tertentu dan sesuai aturan dan syarat di atas, tetapi jama’ mempunyai ketentuan yang tidak seketat ketentuan di atas.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya jama’ sholat. Mayoritas ulama mengatakan jama’ sholat hukumnya boleh dan merupakan hak musafir. Karena hukumnya boleh maka seorang musafir boleh malakukan jama’ dan boleh tidak melakukannya. Melakukannya dengan keyakinan mengikuti Rasululah s.a.w. adalah kesunahan.
B.2. JENIS SHALAT JAMA’
Sholat dengan cara jama’ ada dua macam:
[1]. JAMA' TAQDIM. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu dhuhur, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu maghrib.
[1.1.] CARA JAMA' TAQDIM
Yang dimaksud dengan sholat jama’ taqdim adalah, melakukan sholat ashar dalam waktunya sholat dhuhur, atau melakukan sholat isya' dalam waktunya sholat maghrib. Sholat shubuh tidak dapat dijama’ dengan sholat isya'. Pelaksanaan sholat dengan jama’ taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dilakukan dengan cara, setelah masuk waktu dhuhur, terlebih dahulu melakukan sholat dhuhur, dan ketika takbirotul ihram, berniat menjama’ sholat dhuhur dengan ashar.
Contoh :
Usholli fardlod-dhuhri jam'an bil 'ashri taqdiman lillahi ta'ala.
Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dengan dijama’ taqdim dengan ashar karena Allah"
Niat jama’ taqdim, dapat juga dilakukan di tengah-tengah sholat dhuhur sebelum salam, dengan cara berniat didalam hati tanpa diucapkan, menjama’ taqdim antara ashar dengan dhuhur.
Kemudian setelah salam dari sholat dhuhur, cepat-cepat melakukan sholat ashar. Demikian juga cara sholat jama’ taqdim antara sholat maghrib dengan sholat isya', sama dengan cara jama’ taqdim antara sholat dhuhur dengan ashar, dan lafadz dhuhur diganti dengan maghrib, lafadz ashar diganti dengan isya'.
Jika sholat jama’ taqdim dilakukan dengan qashar, maka sholat yang empat raka'at, yaitu dhuhur, ashar, dan isya', diringkas menjadi dua rokaat. Contoh niat jama’ taqdim serta qashar:
Usholli fardlod-dhuhri rok'ataini jam'an bil 'ashri taqdiman wa qoshron lillahi ta'ala
Artinya : "Saya berniat sholat dhuhur dua roka'at dengan dijama’ taqdim dengan ashar dan diqashar karena Allah "
[1.2.] SYARAT-SYARAT JAMA' TAQDIM
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan sholat jama’ taqdim, dengan syarat sebagai berikut :
1. Bukan berpergian maksiat .
2. Jarak yang akan ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama’ taqdim dalam sholat yang pertama ( Dhuhur / Maghrib).
4. Tartib, yakni mendahulukan sholat dhuhur sebelum sholat ashar dan mendahulukan sholat maghrib sebelum sholat isya'.
5. Wila, yakni setelah salam dari sholat pertama, segera cepat-cepat melakukan sholat kedua, tenggang waktu anatara sholat pertama dengan sholat kedua, selambat-lambatnya, kira-kira tidak cukup untuk mengerjakan dua roka'at singkat.
[2.] JAMA' TA'KHIR. Yaitu mengumpulkan sholat dhuhur dan sholat ashar dalam waktu ashar, atau sholat maghrib dan sholat isya' dalam waktu isya'.
[2.1.] CARA JAMA' TA'KHIR
Yang dimaksud dengan jama’ ta’khir adalah, melakukan sholat dhuhur dalam waktunya sholat ashar, atau melakukan sholat maghrib dalam waktunya sholat, isya'. Sholat shubuh tidak dapat dijama’ dengan sholat dhuhur. Pelaksanaan sholat jama’ ta’khir antara sholat dhuhur dan ashar, dilakukan dengan cara, apabila telah masuk waktu dhuhur, maka dalam hati niat mengakhirkan sholat dhuhur untuk dijama’ dengan sholat ashar dalam waktu sholat ashar. Kemudian setelah masuk waktu ashar, melakukan sholat dhuhur dan sholat ashar seperti biasa tanpa harus mengulangi niat jama’ ta’khir. Demikian juga cara melakukan jama’ ta’khir sholat magrib dengan sholat isya'. Ketika masuk waktu maghrib berniat dalam hati mengakhirkan sholat maghrib untuk di jama’ pada waktu sholat isya'.
[2.2.] SYARAT-SYARAT JAMA' TA'KHIR
Orang yang sedang bepergian, diperbolehkan melakukan jama’ ta’khir apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bukan bepergian maksiat.
2. Jarak yang ditempuh, sedikitnya berjarak 80,64 km. (mazhab Syafii)
3. Berniat jama’ ta’khir didalam waktu dhuhur atau waktu maghrib.
B.3. KONDISI DIPERBOLEHKAN MELAKUKAN JAMA'
Ketentuan jama’ dan atas adalah mengacu kepada pendapat mazhab Syafii. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang diperbolehkan melakukan sholat dengan jama’ dari berbagai mazhab:
1. Perjalanan panjang lebih dari 80,64km (Syafii dan Hanbali).
2. Perjalanan mutlak meskipun kurang 80km (Maliki).
3. Hujan lebat sehingga menyulitkan melakukan sholat berjamaah khusus untuk sholat maghrib dan isya' (Maliki, Hanbali). Termasuk kategori ini adalah jalan yang becek, banjir dan salju yang lebat. Mazhab Syafii untuk kondisi seperti ini hanya memperbolehkan jama’ taqdim. Dalil dari pendapat ini adalah hadist Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. sholat bersama kita di Madina dhuhur dan ashar digabung dan maghrib dan isya' digabung, bukan karena takut dan bepergian (h.r. Bukhari Muslim).
4. Sakit (menurut Maliki hanya boleh jama’ simbolis, yaitu melakukan solat awal di akhir waktunya dan melakukan sholar kedua di awal waktunya. Menurut Hanbali sakit diperbolehkan menjama’ sholat).
5. Saat haji yaitu di Arafah dan Muzdalifah.
6. Menyusui, karena sulit menjaga suci, bagi ibu-ibu yang anaknya masih kecil dan tidak memakai pampers (Hanbali).
7. Saat kesulitan mendapatkan air bersih (Hanbali).
8. Saat kesulitan mengetahu waktu sholat (Hanbali).
9. Saat perempuan mengalami istihadlah, yaitu darah yang keluar di luar siklus haid. (Hanbali). Pendapat ini didukung hadist Hamnah ketika meminta fatwa kepada Rasulullah s.a.w. saat menderita istihadlah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Kalau kamu mampu mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan ashar, lalu kamu mandi dan melakukan jama’ kedua sholat tersebut maka lakukanlah itu" (h.r. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi.
10. Karena kebutuhan yang sangat mendesak, seperti khawatir keselamatan diri sendiri atau hartanya atau darurat mencari nafkah dan seperti para pekerja yang tidak bisa ditinggal kerjaannya. (Hanbali).
Para pekerja di kota-kota besar yang pulang dengan tansportasi umum setelah sholat ashar sering menghadapi kondisi sulit untuk melaksanakan sholat maghrib secara tepat waktu karena kendaraan belum sampai di tujuan kecuali setelah masuk waktu isya', sementara untuk turun dan melakukan sholat maghrib juga tidak mudah. Pada kondisi ini dapat mengikuti mazhab Hanbali yang relatif fleksibel memperbolehkan pelaksanaan sholat jama’. Menurut mazhab Hanbali asas diperbolehkannya qashar sholat adalah karena bepergian jauh, sedangkan asas diperbolehkannya jama’ adalah karena hajah atau kebutuhan. Maka ketentuan jama’ lebih fleksibel dibandingkan dengan ketentuan qashar.
- SHOLAT DI ATAS KENDARAAN 
Pelaksanaan sholat di atas kendaraan pesawat, sama seperti sholat ditempat lainnya. Jika dimungkinkan berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku' dan sujud dilakukan seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri, maka boleh sholat dengan duduk dan isyarat untuk sholat sunnah. Sedangkan untuk sholat fardlu maka ruku-rukun sholat seperti ruku' dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan. Sholat fardlu yang dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan melakukan sujud dan ruku' serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas pesawat atau kapal api yang mempunyai ruangan atau tempat yang memungkinkan melakukan sholatg secara sempurna. Apabila tidak memungkinkan melakukan itu, maka sholat fardlu sambil duduk dan isyarat bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang. Demikian pendapat mayoritas ulama.
- SHALAT FARDLU LILHURMATIL WAKTI 
Bagaimana melaksanakan sholat fardlu di atas kendaraan yang tidak memungkinkan memenuhi rukun-rukun sholat? Terdapat dua cara, yaitu:
[1] Melakukan sholat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti) dengan sebisanya, misalnya sambil duduk dan isyarat.
[2] Wajib mengulang sholat (I'adah), setelah menemukan sarana dan prasarana melaksanakan sholat fardlu secara sempurna
Cara melakukan sholat lihurmatil waqti, sama seperti melakukan sholat biasa, hanya saja, bagi yang sedang berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan hanya membaca bacaan yang wajib-wajib saja, tidak boleh membaca surat-suratan setelah bacaan fatihah.
- ANTARA WUDLU DAN TAYAMMUM 
[1] Sebab-sebab bertayammum
Saat bepergian atau di atas kendaraan, untuk melaksanakan sholat terkadang mengalami kendala sulitnya mencari air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk berwudlu, atau ada air, namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan berwudlu', seperti ketika berada didalam pesawat, oleh petugas tidak diperbolehkan menggunakan air untuk berwudlu', karena dikhawatirkan dapat mengganggu sistem pesawat, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan para penumpang. Maka dalam kondisi ini diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci dengan debu.
Tayammum disyari'atkan oleh agama berdasar ayat :
"Dan jika kamu sakit atau bepergian atau habis buang besar, sementara kamu tidak menemukan air (untuk berwudlu) maka bertayamumlah....dst". (QS. al-Ma'idah ayat 6).
Berdasar ayat itu pula, sesuai kesepakatan para ulama, tayamum kedudukannya hanya sebagai pengganti bersuci wudlu (jika berhadas kecil) dan bersuci mandi (jika berhadas besar/junub).
Jadi kita hanya boleh bertayamum jika memang tidak menemukan air untuk bersuci (mandi dan atau wudlu).
Tidak bisa menggunakan air karena berbagai alasan:
1. Alasan medis, karena jika, misal, anggota badan yang sakit yang wajib kena air wudlu terkena air akan bertambah sakit.
2. Takut dari sesuatu yang membahayakan, yang menghalang-halangi kita dari tempat air. Misalnya ada musuh atau hewan buas yang menghalangi-halangi untuk mencapai air.
Kebutuhan kita terhadap air. Ini misalnya kita mempunyai persediaan air yang hanya cukup untuk kebutuhan yang lebih darurat, seperti minum (baik untuk diri sendiri, kawan, orang lain, atau hewan yang kehausan). Begitu juga jika kita mempunyai persediaan air yang hanya cukup untuk menghilangkan najis, maka diperbolehkan tayamum.
3. Tidak mempunyai alat untuk mengambil air. Seperti tidak mempunyai timba untuk menimba dari sumur, sementara waktu salat tinggal sebentar.
4. Tidak menemukan air di sekitar kita, dan jika kita memaksakan mencari air maka habislah waktu salat.
Jadi pada dasarnya, apa yang memperbolehkan kita untuk melakukan tayamum adalah kesulitan kita untuk menemukan air atau berhalangan menggunakannya (walaupun kita punya air). Adapun debu yang bisa digunakan untuk tayamum adalah debu suci dan halus (sekiranya diusapkan ke kulit bisa menempel).
[2] Bagaimana cara bertayamum?
Rukun-rukun tayammum :
- niat melakukan tayamum 
- mengusap wajah dengan debu 
- mengusap kedua tangan sampai siku 
- tartib. yaitu harus dilakukan secara berurutan dan tidak terpisah-pisah dlm waktu yang lama, sebagaimana dalam wudhu. 
[3] Debu mana saja yang dapat digunakan tayamum?
Debu yang sah digunakan tayamum adalah debu yang bersih, suci dan mempunyai sifat debu (bersifat serbuk). Para ulama berbeda pendapat mengenai esensi dari debu tersebut:
Mazhab Maliki berpendapat bahwa bahwa debu bisa mencakup apa saja yang muncul di permukaan bumi, seperti kerikil dan batu-batuan. Mazhab Hanafi berpendapat lebih umum lagi mencakup juga semua yang berasal dari bumi, seperti bata dan keramik. Mazhab Syiah berpendapat bahwa semua bagian bumi termasuk debu.
Namun sebagian besar ulama berpendapat bahwa debu yang bisa digunakan untuk tayamum adalah debu yang terlihat mata. Hanya mazhab Hanbaliyah yang berpendapat bahwa dalam bertayamum yang penting adalah ketika tangan ditempelkan ke suatu obyek yang sekiranya terdapat molekul debu meskipun tidak terlihat mata, baik obyek itu tembok, kain, atau apa saja, bahkan benda hidup seperti punggung hewan, yang penting obyek itu suci maka seperti itu sudah sah, menurut Hanbaliyah.
Praktik Hanbaliyah ini yang banyak dipakai umat Islam zaman sekarang, khususnya pada saat bertayamum di atas pesawat yang memang sulit untuk menemukan debu dari tanah. Mazhab Hanbali ini juga lebih cocok untuk konsep kebersihan, karena memudahkan orang yang hendak bertayamum dengan tidak perlu mengotori muka dan tangan mereka dengan debu tanah.
[4] Apabila dalam kendaraan umum atau sedang sakit sedangkan kita batal, akan melakukan salat apakah sah menggunakan debu yang menempel pada pakaian atau pada kendaraan?
Dalam keadaan sakit, sesuai keterangan di atas, seseorang boleh bertayamum memakai debu yang menempel di pakaiannya. Tapi daripada kesulitan, lebih baik minta tolong ke orang lain untuk mendatangkan obyek yang mudah untuk menempelkan tangan. Demikian juga di kendaraan umum, kalau memang kondisinya tidak mungkin mendapatkan air, atau kendaraan tersebut berjalan non-stop melampaui beberapa waktu salat, maka boleh tayamum. Namun bila waktu salat diperkirakan belum habis saat beristirahat, maka tidak perlu tayamum di kendaraan.
Sesuatu yang dapat digunakan untuk bertayamum menurut mazhab Syafi’I dan Hambali adalah, debu atau tanah yang berdebu . Sedangkan menurut mazhab Hanafi adalah, semua jenis tanah, baik yang mengandung debu atau tidak, seperti tanah liat, tanah kapur, tanah pasir, batu dan lain-lain.
Menurut madzhab Maliki, yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah, semua yang nampak dari juznya bumi, seperti debu, salju, batu kapur yang belum di bakar, dan semua barang hasil tambang selain emas dan perak yang belum dipindah dari tempat asalnya.
Dengan demikian, tayamum dengan menggunakan kayu papan, plastik dan apa saja yang telah diolah atau dimasak, hukumnya adalah tidak sah menurut semua madzhab (Syafi’i, Hanbali, Hanafi, dan Maliki), sebab tidak termasuk debu atau jenis tanah .
- QADLA SHOLAT YANG TERTINGGAL SAAT BEPERGIAN 
Apabila kita bepergian dan karena satu dan lain hal kita terpaksa meninggalkan sholat atau tidak mungkin melakukan sholat, maka kita wajib melakukan qadla atas sholat yang kita tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan sholat di luar waktu seharusnya.
Untuk sholat yang ditinggalkan saat bepergian jauh, qadla juga dapat dilaksanakan dengan qashar sesuai ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam kondisi bepergian dan belum sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau telah kembali di rumah. Maka apabila kita ingin melakukan qadla shalat yang tertinggal dalam bepergian, hendaknya melakukannya pada saat masih dalam perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga kita masih mendapatkan dispensasi melakukan qashar.
Apabila kita melakukan qadla shalat yang tertinggal di perjalanan tadi telah sampai di tempat tujuan untuk bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita sampai di rumah, maka kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus melaksanakannya dengan sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar diberikan saat bepergian dan saat itu kita bukan lagi musafir maka wajib melaksanakan sholat secara sempurna.
- BATAS MULAI DIPERBOLEHKAN MENGAMBIL KERINGANAN 
Batas mulai diperbolehan jama’ dan qashar adalah pada saat musafir telah melewati batas desanya. Begitu juga batas akhir mulai tidak diperbolehkan melakukan qashar atau jama’ bagi seorang musafir adalah pada saat mulai memasuki batas desa dimana dia akan tinggal atau bermukim. Kalau anda melakukan qashar dan jama’ takhir saat perjalanan pulang, hendaknya melakukannya sebelum masuk batas desa anda. Kalau anda terlanjur masuk desa tersebut, maka anda tidak lagi berhak atas keringanan seperti jama’ atau qashar.
Semoga bermanfaat.
Artikel ini disarikan dari berbagai sumber kitab kuning.
Disusun Oleh Ustadz Muhammad Niam
Sumber artikel : www.pesantrenvirtual.com




















































Komentar